Presiden Joko Widodo dikabarkan ingin bertemu dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Wacana itu disinyalir pengamat politik sebagai bentuk kehendak Jokowi untuk merangkul Megawati karena pemilihan presiden (pilpres) disebut kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran.
“Mungkin Pak Jokowi sudah berpikir opsi alternatif seandainya Prabowo-Gibran yang dia dukung tidak bisa satu putaran, yaitu berharap agar jangan sampai PDIP berkoalisi dengan kubu Amin, tapi bergabung ke koalisi Prabowo,“ kata Pangi kepada BBC News Indonesia, Selasa (23/01).
Dalam beberapa survei terakhir elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran terlihat belum menembus 50%, sebagai syarat satu putaran. Di sisi lain dukungan kepada Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud cenderung fluktuatif.
Namun, upaya untuk menggaet dukungan dari Megawati bukanlah langkah yang mudah, di tengah apa yang disebut pengamat politik dari Universitas Indonesia Cecep Hidayat “dosa-dosa politik Jokowi ke PDIP“.
Lalu, bagaimana peta politik yang akan terjadi jika pilpres berlangsung ke putaran kedua, apakah Megawati akan rujuk dengan Jokowi dan mendukung Prabowo-Gibran di putaran kedua?
Ataukah Megawati akan menyatukan kekuatan mendukung Anies-Cak Imin untuk mengalahkan Prabowo-Gibran?
Benarkah Jokowi ingin bertemu Megawati?
Presiden Joko Widodo mengirimkan karangan bunga untuk Megawati yang berulang tahun ke 77 pada Selasa (23/01).
Karangan bunga yang terdiri dari anggrek bulan berwarna ungu, mawar putih, lili, dan baby breath tiba di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta pada Selasa siang.
Di karangan itu tertulis, “Selamat ulang tahun Ibu Megawati Soekarnoputri. Dari: Presiden Joko Widodo.”
Di balik karangan bunga itu beredar juga kabar yang menyebutkan adanya keinginan Jokowi untuk bertemu dengan Megawati.
Wacana itu pun mendapatkan respon dari beragam pihak. Capres nomor urut tiga Ganjar Pranowo mengatakan sebaiknya kedua tokoh itu untuk bertemu.
“Yo enggak masalah, tinggal beliau berdua saja. Wong biasanya beliau berdua-berdua dulu sering temu-temuan kok. Mungkin kalau sekarang nggak pernah ketemu. Justru kita bertanya-tanya, kok nggak pernah ketemu ya? Mbok ketemu,” kata Ganjar di Lampung (22/01)
Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto juga buka suara, bahkan menyebut ”ada sesuatu” di balik isu itu.
“Ya kalau seseorang sebelumnya kalau bertemu dengan ibu kan selalu terbuka… Ketika untuk bertemu ibu kemudian harus disampaikan ke media, itu kan artinya ada sesuatu,” kata Hasto di Bandung, Minggu (21/01).
Sementara itu, pihak Istana membantah narasi yang beredar itu. Koordinator Stafsus Presiden Ari Dwipayana mengaku belum mendapatkan informasi adanya penjajakan pertemuan Jokowi dan Megawati.
“Terkait narasi yang dikembangkan seolah-olah ada permintaan dari Bapak Presiden untuk bertemu, apalagi dihubungkan dengan Pemilu 2024, itu sama sekali tidak benar,” kata Ari Dwipayana di Jakarta, Senin (22/01).
Rentetan ‘putusnya kemesraan’ Jokowi dan Megawati
Cecep melihat, keretakan itu mulai tercium sejak adanya sinyal-sinyal Jokowi “mendorong Ganjar” menjadi capres pada tahun 2022, seperti menyatakan ciri pemimpin itu berambut putih. Padahal saat itu, PDI Perjuangan dan Megawati belum memutuskan capres yang akan diusung.
Kemudian, muncul wacana di publik tentang masa jabatan presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden hingga penundaan pemilu. Megawati dengan tegas menolak itu.
Hubungan antar keduanya terlihat semakin memanas saat Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20.
Pembatalan itu tidak lepas dari munculnya suara penolakan atas kehadiran Israel di dalam negeri, seperti yang diungkap oleh Megawati dan Ganjar.
Atas pembatalan itu, Jokowi pada April 2023 mengaku kecewa dan sedih.
Kemudian, kata Cecep, dari pernyataan yang menyebut Jokowi sebagai “petugas partai” hingga putusan Mahkamah Konstitusi yang “melanggengkan” Gibran menjadi cawapres, semakin menjauhkan hubungan antara Jokowi dan Megawati.
Puncaknya, ujar Cecep, kemesraan keduanya menjadi sukar disembuhkan saat Gibran dideklarasikan menjadi pendamping Prabowo dalam Pilpres 2024.
“Beberapa isu ini berkelindan, kemudian komunikasi menjadi tidak baik. Deklarasi Prabowo-Gibran membuat komunikasi akhirnya benar-benar terputus. Rentetan ‘dosa-dosa politik Jokowi ke PDIP’ saya kira sukar disembuhkan,” ujar Cecep.
Usai deklarasi itu, kata Cecep, PDI Perjuang tidak lagi mengikutsertakan Jokowi dalam kegiatan partai.
Hal itu diperlihatkan saat Jokowi tidak hadir di acara hari ulang tahun PDIP ke-51 pada Rabu (10/01).
Mungkinkah hubungan Jokowi dan Megawati membaik?
Lalu mungkinkan hubungan mereka membaik, terjalin pertemuan antar keduanya, atau bahkan mereka kembali bersatu dalam pilpres 2024?
Cecep Hidayat melihat itu sebagai sesuatu yang sulit untuk terjadi.
“Megawati kerap terbawa emosional dalam pengambilan keputusan. Seperti relasi dia dengan SBY, yang menikung di Pilpres 2004, membuat relasi PDIP dengan Demokrat tidak baik sampai sekarang misalnya,” kata Cecep.
Senada, peneliti senior pusat riset politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor melihat Megawati sebagai tokoh politik yang konsisten atas pilihan politik yang diambilnya.
Selain ‘perang dingin’ dengan SBY yang berlangsung selama belasan tahun, Firman mengatakan, Megawati juga konsisten melawan rezim Orde Baru, sampai terjadi peristiwa penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996, dikenal dengan Kudatuli.
“Berkaca dari itu,tidak mudah untuk Megawati memaafkan Jokowi karena PDIP adalah yang paling dikecewakan oleh manuver Jokowi. Bagaimanapun Jokowi sudah mengkhianati partainya,” kata Firman.
Apa motif dibalik wacana pertemuan Jokowi-Megawati?
Lalu muncul pertanyaan, apa motif politik di balik munculnya isu-isu yang menyebut Jokowi ingin bertemu dengan Megawati?
Firman Noor mengatakan, wacana pertemuan Jokowi dan Megawati itu memunculkan analisis sebagai upaya dari paslon Prabowo-Gibran untuk mendapatkan lebih banyak dukungan, apalagi kemungkinan mereka untuk menang satu putaran semakin sulit.
“Performa nomor dua dari debat-debat bukan semakin meyakinkan, tapi membuat orang jadi netral atau beralih ke paslon lain. Ini harus dicari jalan keluarnya, salah satunya adalah dukungan dari Megawati,” kata Firman.
Di sisi lain, kata Firman, paslon Anies-Cak Imin dan Ganjar-Mahfud memiliki tren fluktuatif, yang mungkin akan naik dan juga turun.
Senada dengan itu, Pangi Syarwi dari Voxpol Center melihat wacana ini juga menunjukkan adanya kekhawatiran dari Jokowi jika PDI Perjuangan bergabung dengan Anies di putaran kedua.
“Ini opsi alternatif kalau seandainya Prabowo tidak bisa satu putaran maka Jokowi sangat berharap jangan sampai PDIP berkoalisi dengan kubu Amin. Jika bergabung dan menjadikan Jokowi musuh bersama, bisa belepotan, repot karena mesin-mesin partai pendukung mereka ini kuat-kuat,” katanya.
Pangi melihat, putaran kedua akan menjadi tahap yang berat bagi Prabowo-Gibran.
Pertama katanya karena partai pengusung Prabowo-Gibran, seperti Golkar dan PAN, cenderung setengah hati mendukung capres dan cawapresnya dalam berkampanye.
“Buktinya caleg-caleg mereka yang pasang foto Prabowo-Gibran tidak banyak, hanya Gerindra saja. Sementara di putaran kedua orang tidak lagi memilih partai, orang pilih figur,” kata Pangi.
“Kalau partai dan mesinnya tidak solid mendukung di putaran kedua itu akan berbahaya, ditambah lagi gagasan akan semakin kering, kehilangan narasi, dan keuangan habis.”
“Itu mengapa paslon nomor dua tidak percaya diri di putaran kedua. Tapi kalau nomor satu dan tiga bersatu, nafasnya masih dan mungkin akan semakin kuat, ditambah mesin partai yang konsisten bekerja,” katanya.
Hasil survei, ‘Pemilu akan berlangsung dua putaran‘
Baik Cecep Hidayat, Firman Noor dan Pangi setuju bahwa pilpres 2024 kemungkinan besar akan berlangsung dalam dua putaran.
Merujuk pada Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, syarat pilpres satu putaran adalah:
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Jika syarat itu tidak berhasil dipenuhi paslon maka akan dilakukan putaran kedua, merujuk pada Pasal 416 ayat 2 UU Pemilu, yang berbunyi:
“Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.”
Mereka mengatakan hal itu tidak lepas dari hasil survei yang diungkapkan oleh beberapa lembaga survei pada Januari 2024, di antaranya adalah:
- Hasil survei Charta Politika, 4-11 Januari 2024: Prabowo-Gibran 42,2%, Ganjar-Mahfud 28%, dan Anies-Cak imin 26,7%
- Poltracking Indonesia, 1-7 Januari 2024: Prabowo-Gibran 46,7%, Ganjar-Mahfud 20,6%, dan Anies-Cak imin 26,9%
- Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, 3-11 Januari 2024: Prabowo-Gibran 46,6%, Ganjar-Mahfud 24,8%, dan Anies-Cak imin 22,8%
- Indikator Politik Indonesia 30 Desember 2023-6 Januari 2024: Prabowo-Gibran 45%, Ganjar-Mahfud 22%, dan Anies-Cak imin 25%
- Lembaga Survei Indonesia (LSI), 10-11 Januari 2024: Prabowo-Gibran 47%, Ganjar-Mahfud 21,7%, dan Anies-Cak imin 23,2%
Putaran kedua, mungkinkan PDI Perjuangan merapat ke Prabowo?
Jika diasumsikan bahwa paslon Anies-Cak Imin dan Prabowo-Gibran lolos ke putaran kedua, sementara Ganjar-Mahfud kalah, Cecep melihat kemungkinan PDI Perjuangan memberikan dukungannya ke Prabowo-Gibran dalam putaran kedua sangat kecil.
”Hanya satu yang membuka pintu itu, jika PDIP realistis atau pragmatis, mengesampingkan ‘dosa dan pengkhianatan’ Jokowi demi kekuasaan. Tapi melihat kondisi emosional yang terbentuk itu amat sangat sukar,” kata Cecep, ditambah lagi adanya Partai Demokrat yang mendukung Prabowo.
Pangi Syarwi dari Voxpol Center lantas melihat kemungkinan besar yang muncul adalah dukungan PDI Perjuangan akan mengalir ke Anies-Cak Imin.
”Karena mereka memiliki musuh bersama, nasib sama, menghadapi kesulitan kampanye yang sama, dan harus bersatu untuk menjadi lawan tanding yang sebanding,” kata Pangi.
”Nomor satu itu partai pendukungnya saya lihat tidak solid. Misal secara elit, Surya Paloh dari Nasdem cenderung ke nomor dua.”
“Sedangkan PKS karena ada Partai Gelora kemungkinan akan ke nomor tiga atau tidak mendukung. Lalu dukungan PKB mungkin akan ke nomor tiga,” kata Cecep.