
Dalam momentum Natal tahun ini, sejumlah pemuka agama Kristen menyerukan agar umat mengambil bagian, dan menggunakan hati nurani dalam Pemilu 2024.
Seruan ini memicu pertanyaan lebih luas: ke mana suara Umat Nasrani yang jumlahnya sekitar 10% di Indonesia pada Pemilu 2024? Apakah politik aliran masih akan berpengaruh terhadap mereka?
Dan, seperti apa strategi pendekatan yang semestinya digunakan tiga capres-cawapres dalam menarik simpati Umat Nasrani?

Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo menyerukan umat Katolik ikut ambil bagian dari Pemilu 2024 dan tidak masuk golongan putih alias golput.
Karyawan swasta di Jakarta ini, mengaku butuh waktu untuk menentukan pilihan orang yang akan duduk di kursi presiden, karena ia memerlukan masukan sebanyak-banyaknya dari berita di media massa, termasuk informasi dari teman-teman kantornya. Hal yang menjadi pertimbangan adalah latar belakang calon sekaligus visi dan misi.
“Tapi sebelumnya, tentang menjadi Nasrani dan tentang aku jadi pemilih, nggak pernah terlalu diuntungkan,” kata Nomena yang ber-KTP Sumatra Utara.
Untuk pilihan partai politik, ia lebih menyukai yang bergaris nasionalis, sedangkan caleg nantinya ia akan meminta saran dari orang tuanya. “Aku masih tetap mencoblos [caleg] pilihan dari orang tua, karena aku nggak paham konteks di rumah,” kata Nomena.
Bagaimana posisi suara umat Nasrani di Pemilu 2024?
Berdasarkan data pemerintah, jumlah umat Nasrani per 2022 diperkirakan mencapai 29,01 juta jiwa, atau sekitar 10,53% dari total penduduk Indonesia. Suara mereka cukup menentukan pemenangan Pilpres 2024 yang diikuti tiga pasangan kandidat.
“Cukup besar, apalagi jika banyak di antaranya adalah swing voter ataupun undecided voter/pemilih bimbang,” kata Dosen komunikasi politik UGM, Nyarwi Ahmad, sambil menambahkan, suara yang ditargetkan pada umat Nasrani ini bisa menentukan satu putaran dalam pilpres.
Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies ini juga mengatakan seruan dari tokoh-tokoh Kristen ini membuat partisipasi pemilih semakin maksimal. “Kalau partisipasinya lebih tinggi, artinya lebih legitimate,” kata Nyarwi.

Sebagai gambaran, pada Pemilu 2019 lalu, KPU melaporkan tingkat partisipasi pemilih mencapai 81% atau 158 juta pemilih menggunakan hak pilihnya, dari total Daftar Pemilih Tetap sebesar 199,9 juta jiwa.
Menurut Nyarwi, umat Kristen dan umumnya nonMuslim lebih cenderung memilih partai dengan ideologi sekuler-nasionalis. “Karena konstitusi kita bukan negara agama. Tapi negara Pancasila,” katanya.
Ia menambahkan, nonMuslim akan memilih partai Islam dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
“Kecuali, ada calon-calon yang dianggap Partai Islam seperti PKS atau apapun, yang calonnya itu dari nonMuslim. Itu baru [dipilih]. Itu juga lebih percaya pada orang-orang yang dicalonkan,” kata Nyarwi.

Ia juga melihat senjakala partai-partai berbasis agama pascareformasi. Saat itu terdapat Partai Damai Sejahtera (PDS) yang berbasis Kristen, dan sampai kini masih terdapat partai-partai berhaluan Islam seperti PKS, PPP, PAN, PKB, Partai Bulan Bintang dan lain-lain.
Menurutnya, PDS sulit memperoleh suara karena pemilih Kristen jumlah populasinya tidak dominan secara nasional, termasuk bagaimana partai harus memenuhi syarat ambang batas yang besar.
“Tidak semua orang dari nonMuslim itu suka dengan partai agamanya, mereka cenderung memilih tadi, nasionalis,” kata Nyarwi.
Partai Islam mungkin akan lebih tahan lama karena populasi Muslim yang mendominasi secara nasional. Tapi, pemilih Muslim masih cenderung memilih partai nasionalis. “Basis politik agama, aliran, tidak lagi dominan di Indonesia… Islam juga tidak tunggal,” katanya.
Sama-sama bersaing
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama dari BRIN, Profesor Firman Noor mengestimasi suara umat Nasrani dalam pilpres 2024 “akan terbagi”. Menurutnya, saat ini ketiga pasangan punya pendekatan yang baik terhadap umat Nasrani.
Capres nomor urut satu, Anies selama menjabat gubernur Jakarta tidak menentang perizinan gereja. PKB sebagai partai penyokongnya juga punya rekam jejak yang baik dengan nonMuslim, sejak era Gus Dur.
Sementara itu, pasangan nomor urut dua, Prabowo – dari keluarga yang sekular – telah menarik diri dari kelompok konservatif di era pemilu sebelumnya, sementara Gibran disebut “tidak ada masalah dengan Nasrani”.
Sedangkan, pasangan nomor urut tiga, Ganjar-Mahfud MD disokong PDI Perjuangan – parpol yang memiliki porsi besar dari pemilih Nasrani.

“Suara ini akan terbagi, tidak seperti pilpres kemarin (2019). Yang menarik alasannya itu, tidak lagi untuk melawan politik identitas, tapi mencari yang paling sesuai dengan hati nurani,” kata Prof Firman.
Ia melanjutkan, politik identitas tak sekuat pemilu-pemilu sebelumnya. Saat ini, telah terjadi pergeseran di mana pemilih secara umum lebih mempertimbangkan pada isu etika politik, konstitusi, dan program kerja.
Politik aliran masih tetap digunakan, akan tetapi lebih pada kepentingan internalisasi dan konsolidasi masing-masing kubu pasangan capres-cawapres.
“Hanya untuk magnet bahasa politik menyamakan frekuensi… untuk mudah dipahami akar rumput. Tapi tujuan akhirnya bukan demi alirannya sendiri, tapi kepentingan yang lebih luas,” kata Prof Firman.

Namun, Prof Firman tidak menutup kemungkinan politik identitas masih berpengaruh terhadap pemilih nonMuslim, sehingga calon-calon yang pernah dikaitkan dengan identitas agama seperti Anies dan Prabowo tidak akan mereka pilih.
“Hanya kalangan pemilih yang kurang jauh gaulnya, yang bisa didekati dengan politik identitas. Berpikirnya masih tahun 2014. Tapi itu karena nggak semua orang peduli politik,” katanya.

Hal senada disampaikan peneliti politik BRIN lainnya, Aisah Putri Budiarti. Kata dia, sebagian pemilih umat Nasrani masih akan mempertimbangkan capres-cawapres dari latar belakang kelompoknya.
“Kalau melihat dari Nasrani [secara umum] ini masih cair, tidak menonjol pada salah satu pasangan saja. Meskipun ada catatan-catatan pertimbangan ketika memilih,” kata Aisah.
Apa kata survei?
Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) merilis jajak pendapat terkait pemilih Muslim dan nonMuslim pada Maret 2023 lalu. Survei ini dilakukan Desember 2022.
Hasilnya, pemilih nonMuslim lebih cenderung memilih Ganjar (43%), diikuti Anies (17%), dan Prabowo (16%). Pemilih nonMuslim yang menjadi responden ini berasal dari banyak agama yaitu Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan lainnya.
Menurut Saiful, mereka melihat siapa di antara ketiga tokoh tersebut yang dekat dengan mereka.
Anies, menurut Saiful, memiliki rekam jejak sebagai politikus dari kelompok Islamis. Demikian pula dengan Prabowo, yang dalam dua kali Pemilu bermain dengan kartu Islam.
“Karena itu, di antara pilihan itu, Ganjar lebih bisa diterima, walaupun agamanya tidak sama,” kata Saiful dalam keterangan resminya.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA juga melaporkan survei dukungan pemilih nonMuslim yang bermuara besar ke Ganjar (61,9%), lalu Prabowo (25,3%), dan Anies (10%), seperti dikutip dari Tribunnews.
Pada Pemilu 2019, sejumlah survei juga merilis mayoritas nonMuslim lebih memilih pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dibandingkan Prabowo-Sandiaga.
LSI Denny JA juga pernah merilis survei yang menunjukkan PDI Perjuangan menjadi partai nomor satu pilihan nonMuslim dengan jumlah 54,7%, diikuti Partai Golkar (13,5%), dan Partai NasDem (3,5%).

Di posisi selanjutnya terdapat Partai Gerindra (2,9%), dan Partai Demokrat (2,4). Sejumlah partai Islam juga dipilih oleh nonMuslim, tapi jumlahnya hanya kisaran 1%.
Menurut dosen komunikasi dari UGM, ada kemungkinan PDIP menjadi pilihan pemilih nonMuslim karena punya garis historis.
PDIP yang merupakan pecahan dari PDI dulunya adalah gabungan sejumlah partai yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, dan Partai Musyawarah Rakyat Banyak.